This is the place to share information and dialogue to advance our knowledge on the development of the nation!

Demokrasi & Politik Uang

Pemilu merupakan salah satu perwujudan atau pengejawatan dari sistem demokrasi. Abraham lincoln menyatakan  dalam teorinya “the goverment from the people, by the people and for the people” yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Secara tidak langsung teori ini menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi disuatu negara berada di tangan rakyat dan kekuasaan itu dijalankan oleh wakil-wakil mereka (rakyat) yang dipilih melalui sistem pemilihan.

Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki sistem pemilihan umum secara langsung yang tercantum dalam Pasal 22 E UUD NRI 1945 ayat (1),(2),(3),(4),(5) dan (6) yang dimana menjelaskan mengenai Pemilu.

Pemilu secara langsung mulai dilaksanakan pada tahun 2004, pada pemilu 2019 bukan hanya melahirkan politik baru di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Untuk pertama kalinya, pemilihan presiden dan legislatif dilaksanakan secara serentak. Namun hingga saat ini pemilu secara langsung masih menuai beberapa persoalan, salah satunya yakni money politics/politik uang.

Ekonom Milton Freedman  menulis salah satu judul bukunya There’s No Such Thing as a Free Lunch. Frase yang populer di era 1950-an ini digunakan Freedman untuk menyinggung opportunity cost yang didapatkan seseorang ketika memberikan imbalan kepada seseorang yang berpengaruh.

Frase ini hidup kembali dalam aktivitas politik yang melibatkan voter dan geeter. Pemilih bisa memilih si A karena ada ‘gula’ kebijakan. Bisa karena si A memiliki gagasan atau ide yang menarik seperti swasembada pangan, berdikari atau apapun. Kemudian gagasan atau ide tak bisa lepas dari basis material baik dalam jangka panjang atau pendek. Basis material itu patut ditelaah mengarah kemana ; condong ke publik atau private?

Ini menjadi persoalan dalam praktek politik uang yang semakin sulit dihindari. Apalagi di negara yang lemah dalam pengawasan anggaran partai politik serta mahalnya ongkos politik. Kurangnya basis pendanaan politik dari anggota yang membuat  partai politik memanfaatkan dana non bujeter atau tak resmi dari proyek pemerintah untuk menghidupi kegiatannya (Ambardi;2009).

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Terkadang dalam prakteknya, pemilu justru diwarnai dengan ketidakbebasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan. Mengapa demikian? karena salah satu penyebabnya yakni adanya praktik politik uang yang sudah merambat baik dalam ranah pileg, pilpres bahkan pilkada.

UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum juga mengatur mengenai larangan politik uang yang tercantum dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j yang berbunyi “pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang : j. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.”

Kemudian didalam Pasal 523 ayat (1),(2) dan (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menyebutkan mengenai sanksi berupa pidana penjara dan berupa denda.

Melihat pasal diatas terlihat jelas bahwa praktik politik uang merupakan tindak pidana yang tidak dibenarkan oleh hukum dan merusak sistem demokrasi yang diharapkan.

Jejak Perjuangan Tan Malaka 1894-1949


Semula berniat menjadi guru, di separuh jalan Ibrahim Datuk Tan Malaka mengganti cita-cita. itu bermula ketika ia bersekolah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah), Belanda. Di kota Haarlem yang nyaris bangkrut ditinggal ratusan pabrik bir yang gulung tikar, ia berkenalan dengan sosialisme. Tapi ia menemukan “laboratorium” sepulang dari Belanda tatkala menjadi guru anak-anak buruh perkebunan the Belanda di Deli, Sumatera utara. Inilah jejak perjuangan Tan Malaka.

Pada usia 12 tahun Tan Malaka berkesempatan mengecap Sekolah Guru Pribumi (inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers) di Bukkittinggi, yang merupakan satu-satunya lembega untuk pendidikan lanjutan di Sumatera. Lulus pada 1913, atas rekomendasi gurunya G.H. Horensma, dan dan berkat pinjaman dana dari para engku di Suliki, ia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk bersekolah ke Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) Haarlem, Belanda. Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913. “Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia,” tulisnya.