Semula
berniat menjadi guru, di separuh jalan Ibrahim Datuk Tan Malaka mengganti cita-cita.
itu bermula ketika ia bersekolah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah), Belanda. Di kota Haarlem yang nyaris bangkrut
ditinggal ratusan pabrik bir yang gulung tikar, ia berkenalan dengan sosialisme.
Tapi ia menemukan “laboratorium” sepulang dari Belanda tatkala menjadi guru anak-anak
buruh perkebunan the Belanda di Deli, Sumatera utara. Inilah jejak perjuangan Tan
Malaka.
Pada usia 12 tahun Tan Malaka berkesempatan
mengecap Sekolah Guru Pribumi (inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers)
di Bukkittinggi, yang merupakan satu-satunya lembega untuk pendidikan lanjutan di
Sumatera. Lulus pada 1913, atas rekomendasi gurunya G.H. Horensma, dan dan berkat
pinjaman dana dari para engku di Suliki, ia melanjutkan studi ke negeri Belanda
untuk bersekolah
ke Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah)
Haarlem, Belanda.
Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913. “Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia,”
tulisnya.
Dari akhir tahun1913 sampai
pertengahan tahun1915 Tan Malaka tinggal di Haarlem. Di negeri kincir angin itu,
Tan Malaka berkenalan dengan teori Revolusioner, Sosialisme, dan Marxisme-Komunisme
melalui buku dan brosur. Bahkan, ia sempat diminta Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara) mewakili Indische Vereenging pada kongres pemuda Indonesia dan
pelajar Indologie di Kota Deventer. Melalui interaksi dengan mahasiswa Indonesia
dan Belanda, ia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas
dari penjajahan Belanda. Keyakinan yang tetap dipegangnya secara konsisten. Itulah
masa awal dari pengembangan politiknya.
Selama belajar di Belanda, “Ipie”
(panggilan Tan Malaka di sana) kerap sakit, akibat makanan dan iklim Belanda yang
tidak cocok, dan menderita Pleuritus ia berhasil mendapatkan ijasah guru bantunya
dengan susah payah. Ia lalu pindah tempat tinggal ke Bussum tempat yang lebih sehat,
dan dua kali ia gagal ujian untuk mencari ijasah guru kepala. Pada November
1919, setelah kecamuk Perang Dunia I usai, pemuda cerdas itu pulang ke tanah air
dengan napas lega. Ia merasa terbebas dari sekitar daerah tempat meletusnya Perang
Dunia I serta revolusi sosial Rusia.
Tan Malaka
kemudian mengajar anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau milik
orang Jerman dan Swiss di Deli, Sumatera Utara. Di lingkungan perkebunan yang benar-benar
kapitalis dan rasistis semangat radikalnya tumbuh ketika ia menyaksikan ketimpangan
sosial antara kaum buruh dan tuan tanah.
“Kekayaan bumi iklimnya Deli
menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong,
ceroboh, dan paling kolotpada satu kutub.di kutub yang lain berada satu golongan
bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas, dan terhina; kuli
kontrak, “ tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, “dari penjara ke Penjara”.
Pada masa itu ia sudah mulai
terlibat dalam politik dengan menjadi anggota Indies Social Democratic Association
(ISDV)yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di surat kabar terbitan
ISDV, Tan Malaka mempublikasikan artikel pertamanya.
Ia pun kerap terlibat konflik
dengan manajemen perkebunan milik orang Eropa karena isi pelajarannya kepada siswa.
Konflik juga dipicu oleh artikel politik liberal yang dia tuliis dikoran lokal,
serta kegiatannya sebagai aktivis serikat buruh, terutama pada pemogokan buruh kereta
api pada 1920.
Pada akhir Februari 1921, ia
pergi ke Jawa dan dimulailah babak baru kehidupannya dengan terjun ke gelanggang
politik. Ia tinggal di Semarang kota yang disebut Tan Malaka sebagai “Kota Merah”,
pusat kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang belum lama berdiri. Ia mendirikan
sekolah proletar, dimana ia akan memberi pelajaran tentang dasar-dasar komunisme.
“Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid”,
tulis Tan Malaka. Melalui sekolah itu, Tan Malaka menciptakan kader-kader baru.
Diluar pendidikan, Tan Malaka
dengan sepat terjun dalam kerja politik dengan mengambil peran kepemimpinan dalam
sejumlah serikat buruh dan menulis artikel di sejumlah penerbit PKI. Kepergian pemimpin
PKI, Semaun ke Uni Soviet dan kekurangan kader pemimpin yang kronis, menyebabkan
Tan Malaka menjadi calon penggati yang paling dianggap. Pada kongres PKI 24-25 Desember
1921 ia terpilih sebagai Ketua PKI, menggantikan Semaun.
Salah satu ciri kepemimpinan
Tan Malaka kala itu adalah ia tetap mempertahankan hubungan antara Partai Islam
yang besar, Sarekat Islam denga PKI yang jauh lebih kecil itu untuk menghadapi penjajahan.
Bagi Tan Malaka, antara komunisme dan Islam saling melengkapi, dan di Indonesia
revolusi semestinya dibangun di atas keduanya, dan juga melindungi kedudukan PKI
sebagai partai kecil. Pada sejumlah cabang SI, PKI mempunyai pengaruh yang penting.
Kemudian ia dan partainya terlibat
dalam pemogokan buruh pedagaian. Sepak terjangnya di berbagai daerah dipandang sebagai
kegiatan subversive yang membahayakan ketertiban dan keamanan sehingga Gubernur
Jendral menggunakan “Exorbitante Rechten” (hak-hak Istimewa) yang ada padanya, yang
tanpa melalui proses pengadilan seseorang bisa dipindahkan kediamannya di dalam
negeri selama waktu yang tak terbatas. Sebagai alternative Tan Malaka dengan kehendak
dan biaya sendiri minta izin untuk meninggalkan Hindia, tanpa bayangan sedikit pun
untuk pulang kembali. Permintaannya dikabulkan, dan dalam bulan Maret 1922 ia berangkat
lagi ke Negeri Belanda. Itulah awal pengembaraan
panjang dari negeri yang satu ke negeri lain selama 20 tahun.
Selama berada di negeri Belanda
ia menjadi calon anggota Parlemen Belanda (Calon anggota parlemen yang pertama dari
Indonesia), dengan menjadi
calon anggota parlemen nomor 3 di Partai Komunis
Belanda untuk pemilu anggota Tweede Kamer (Parlemen) pada bulan Juli
1922. Dalam rangka itu ia melakukan safari pemilu di seluruh penjuru Belanda.
Ia tidak terpilih, karena partainya hanya mendapat dua kursi, selain itu juga karena
persyaratan unur yang harus mencapai tiga puluh tahun tidak memungkinkan ia bisa
terpilih.
Dari Belanda ia melakukan perjalanan
ke Moskow. Di negeri beruang merah Uni Soviet, November 1922 Tan Malaka terlibat secara mendalam dengan politik di organisasi Komunis Internasional
(Komintern) dengan mewakili
Partai Komunis Indonesia dalam Konferensi Komunis Internasional (Komintern) keempat
di Moskow. Dalam kongres ini ia menyampaikan
pidato yang sia-sia karena mengajukan masalah kerjasama antara komunisme dan panislamisme.
Tan Malaka juga memandang Islam sebagai pegangan yang potensional untuk menyatukan
kelas pekerja di beberapa Negara di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan
melawan Imperalisme dan Kapitalisme. Pendapatnya itu tidak diakui sebagai potensi
revolusioner. Posisi ini menempatkan dia berlawanan dengan pihak komunis Eropa dan
pemimpin Komintern.
Pada pertemuan Komite Eksekutif
Komintern Juni 1923, ia terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Tugasnya antar lain memberikan
usulan dan kritik, bahkan veto atas aksi-aksi yang dilakukan partai, kelompok-kelompok,
tokoh-tokoh komunis di daerah kerjanya. Sebagai basisi ia memilih Kanton, dan disanan
ia giat delam mengorganisasi Konferensi Buruh Transportasi Pasifik. Dengan penugasan
dari Komintern pada Desember
1923 dengan menjadi Kepala Biro Serikat PekerjaTimur Merah. Disana ia
bertemu dengan anggota komunis dari Cina dan Indonesia, serta tokoh politik nasionalis,
Sun Yat-sen. Di Kanton,
Cina Tan Malaka menerbitkan majalah The Dawn (Fajar) dan menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia) pada 1925.
Karena ia sakit dan kekurangan
uang hal itu mengakibatkan pekerjaannya menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Lalu ia meminta persetujuan Gubernur Jenderal agar diizinkan pulang kembali ke Hindia.
Tapi karena syarat-syarat yang dibebankannya terlalu berat, maka ia mengurungkan
niatnya. Kemudian Tan Malaka membangun jaringan kegiatannya yang memungkinkannya
berkeliling antara Filipina,
Malaka, dan Tahiland kendati polisi kolonial tak
lepas mengawasinya.
