This is the place to share information and dialogue to advance our knowledge on the development of the nation!

Jejak Perjuangan Tan Malaka 1894-1949


Semula berniat menjadi guru, di separuh jalan Ibrahim Datuk Tan Malaka mengganti cita-cita. itu bermula ketika ia bersekolah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah), Belanda. Di kota Haarlem yang nyaris bangkrut ditinggal ratusan pabrik bir yang gulung tikar, ia berkenalan dengan sosialisme. Tapi ia menemukan “laboratorium” sepulang dari Belanda tatkala menjadi guru anak-anak buruh perkebunan the Belanda di Deli, Sumatera utara. Inilah jejak perjuangan Tan Malaka.

Pada usia 12 tahun Tan Malaka berkesempatan mengecap Sekolah Guru Pribumi (inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers) di Bukkittinggi, yang merupakan satu-satunya lembega untuk pendidikan lanjutan di Sumatera. Lulus pada 1913, atas rekomendasi gurunya G.H. Horensma, dan dan berkat pinjaman dana dari para engku di Suliki, ia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk bersekolah ke Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) Haarlem, Belanda. Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913. “Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia,” tulisnya.

Dari akhir tahun1913 sampai pertengahan tahun1915 Tan Malaka tinggal di Haarlem. Di negeri kincir angin itu, Tan Malaka berkenalan dengan teori Revolusioner, Sosialisme, dan Marxisme-Komunisme melalui buku dan brosur. Bahkan, ia sempat diminta Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mewakili Indische Vereenging pada kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Kota Deventer. Melalui interaksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, ia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan Belanda. Keyakinan yang tetap dipegangnya secara konsisten. Itulah masa awal dari pengembangan politiknya.

Selama belajar di Belanda, “Ipie” (panggilan Tan Malaka di sana) kerap sakit, akibat makanan dan iklim Belanda yang tidak cocok, dan menderita Pleuritus ia berhasil mendapatkan ijasah guru bantunya dengan susah payah. Ia lalu pindah tempat tinggal ke Bussum tempat yang lebih sehat, dan dua kali ia gagal ujian untuk mencari ijasah guru kepala. Pada November 1919, setelah kecamuk Perang Dunia I usai, pemuda cerdas itu pulang ke tanah air dengan napas lega. Ia merasa terbebas dari sekitar daerah tempat meletusnya Perang Dunia I serta revolusi sosial Rusia.

Tan Malaka kemudian mengajar anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss di Deli, Sumatera Utara. Di lingkungan perkebunan yang benar-benar kapitalis dan rasistis semangat radikalnya tumbuh ketika ia menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah.
“Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong, ceroboh, dan paling kolotpada satu kutub.di kutub yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas, dan terhina; kuli kontrak, “ tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, “dari penjara ke Penjara”.

Pada masa itu ia sudah mulai terlibat dalam politik dengan menjadi anggota Indies Social Democratic Association (ISDV)yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di surat kabar terbitan ISDV, Tan Malaka mempublikasikan artikel pertamanya.

Ia pun kerap terlibat konflik dengan manajemen perkebunan milik orang Eropa karena isi pelajarannya kepada siswa. Konflik juga dipicu oleh artikel politik liberal yang dia tuliis dikoran lokal, serta kegiatannya sebagai aktivis serikat buruh, terutama pada pemogokan buruh kereta api pada 1920.

Pada akhir Februari 1921, ia pergi ke Jawa dan dimulailah babak baru kehidupannya dengan terjun ke gelanggang politik. Ia tinggal di Semarang kota yang disebut Tan Malaka sebagai “Kota Merah”, pusat kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang belum lama berdiri. Ia mendirikan sekolah proletar, dimana ia akan memberi pelajaran tentang dasar-dasar komunisme. “Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid”, tulis Tan Malaka. Melalui sekolah itu, Tan Malaka menciptakan kader-kader baru.

Diluar pendidikan, Tan Malaka dengan sepat terjun dalam kerja politik dengan mengambil peran kepemimpinan dalam sejumlah serikat buruh dan menulis artikel di sejumlah penerbit PKI. Kepergian pemimpin PKI, Semaun ke Uni Soviet dan kekurangan kader pemimpin yang kronis, menyebabkan Tan Malaka menjadi calon penggati yang paling dianggap. Pada kongres PKI 24-25 Desember 1921 ia terpilih sebagai Ketua PKI, menggantikan Semaun.

Salah satu ciri kepemimpinan Tan Malaka kala itu adalah ia tetap mempertahankan hubungan antara Partai Islam yang besar, Sarekat Islam denga PKI yang jauh lebih kecil itu untuk menghadapi penjajahan. Bagi Tan Malaka, antara komunisme dan Islam saling melengkapi, dan di Indonesia revolusi semestinya dibangun di atas keduanya, dan juga melindungi kedudukan PKI sebagai partai kecil. Pada sejumlah cabang SI, PKI mempunyai pengaruh yang penting.

Kemudian ia dan partainya terlibat dalam pemogokan buruh pedagaian. Sepak terjangnya di berbagai daerah dipandang sebagai kegiatan subversive yang membahayakan ketertiban dan keamanan sehingga Gubernur Jendral menggunakan “Exorbitante Rechten” (hak-hak Istimewa) yang ada padanya, yang tanpa melalui proses pengadilan seseorang bisa dipindahkan kediamannya di dalam negeri selama waktu yang tak terbatas. Sebagai alternative Tan Malaka dengan kehendak dan biaya sendiri minta izin untuk meninggalkan Hindia, tanpa bayangan sedikit pun untuk pulang kembali. Permintaannya dikabulkan, dan dalam bulan Maret 1922 ia berangkat lagi ke Negeri  Belanda. Itulah awal pengembaraan panjang dari negeri yang satu ke negeri lain selama 20 tahun.

Selama berada di negeri Belanda ia menjadi calon anggota Parlemen Belanda (Calon anggota parlemen yang pertama dari Indonesia), dengan menjadi calon anggota parlemen nomor 3 di Partai Komunis Belanda untuk pemilu anggota Tweede Kamer (Parlemen) pada bulan Juli 1922. Dalam rangka itu ia melakukan safari pemilu di seluruh penjuru Belanda. Ia tidak terpilih, karena partainya hanya mendapat dua kursi, selain itu juga karena persyaratan unur yang harus mencapai tiga puluh tahun tidak memungkinkan ia bisa terpilih.

Dari Belanda ia melakukan perjalanan ke Moskow. Di negeri beruang merah Uni Soviet, November 1922 Tan Malaka terlibat secara mendalam dengan politik di organisasi Komunis Internasional (Komintern) dengan mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Konferensi Komunis Internasional (Komintern) keempat di Moskow. Dalam kongres ini ia menyampaikan pidato yang sia-sia karena mengajukan masalah kerjasama antara komunisme dan panislamisme. Tan Malaka juga memandang Islam sebagai pegangan yang potensional untuk menyatukan kelas pekerja di beberapa Negara di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan melawan Imperalisme dan Kapitalisme. Pendapatnya itu tidak diakui sebagai potensi revolusioner. Posisi ini menempatkan dia berlawanan dengan pihak komunis Eropa dan pemimpin Komintern.

Pada pertemuan Komite Eksekutif Komintern Juni 1923, ia terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Tugasnya antar lain memberikan usulan dan kritik, bahkan veto atas aksi-aksi yang dilakukan partai, kelompok-kelompok, tokoh-tokoh komunis di daerah kerjanya. Sebagai basisi ia memilih Kanton, dan disanan ia giat delam mengorganisasi Konferensi Buruh Transportasi Pasifik. Dengan penugasan dari Komintern pada Desember 1923 dengan menjadi Kepala Biro Serikat PekerjaTimur Merah. Disana ia bertemu dengan anggota komunis dari Cina dan Indonesia, serta tokoh politik nasionalis, Sun Yat-sen. Di Kanton, Cina Tan Malaka menerbitkan majalah The Dawn (Fajar) dan menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925.

Karena ia sakit dan kekurangan uang hal itu mengakibatkan pekerjaannya menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lalu ia meminta persetujuan Gubernur Jenderal agar diizinkan pulang kembali ke Hindia. Tapi karena syarat-syarat yang dibebankannya terlalu berat, maka ia mengurungkan niatnya. Kemudian Tan Malaka membangun jaringan kegiatannya yang memungkinkannya berkeliling antara Filipina, Malaka, dan Tahiland kendati polisi kolonial tak lepas mengawasinya.