This is the place to share information and dialogue to advance our knowledge on the development of the nation!

Tan Malaka (Bapak Republik Indonesia)



Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka (Lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1879). Ia orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia, seorang aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Pemikirannya tentang Republik Indonesia di tuangkan kedalam buku yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, buku yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Soekarno menyebutnya “orang yang mahir dalam revolusi”. Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini : kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.

Di sepanjang hidupnya, Tan Malaka telah menempuh pelbagai royan : dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Tan Malaka berkukuh bahwa sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bias dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutunya. Tanpa itu, nonsense!!

Sebelum melawan Soekarno Tan Malaka pernah melawan arus dalam kongres Komunis Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tidak bekerjasama dengan Pan-islamisme. Revolusi, kata Tan Malaka tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Penolakan ini tak urung membuat Tan Malaka disingkirkan para pemimpin partai. Tapi bagi Tan Malaka, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu ialah kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bias membaca watak dan orientasi Tan Malaka. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan Malaka, “Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dai bumi Indonesia.

Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah : bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia Merdeka!!! Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, China pada 1925, tiga bulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.

Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia-Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah Negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi. Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap perlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, ligislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).

Demokrasi dengan sistem perlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4,5 atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah terpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota perlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat. Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan Malaka, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.